Sabtu, 21 Maret 2015

AESEN CORNER // [[Creepypasta]]

Daratan tanah di daerah sekitar La Ville, New Orleans begitu rendah dan becek sehingga mayat orang mati harus dikubur di bawah tanah dengan dimasukan ke peti dari besi.
Jika tidak begitu, apabila sungai meluapkan bendungan, atau hujan badai membanjiri lahan, kerabat tercintamu yang sudah mati mungkin saja akan menyembul ke atas tanah dan petinya terseret arus mengunjungi rumahmu!

Dahulu kala di pinggir sebuah jalan kecil tepi sungai dari arah La Ville, hidup seorang duda tua dengan anak semata wayangnya yang ceria bernama Therese. Ibunya sudah meninggal sehingga Therese hanya di asuh oleh sang ayah yang bersifat tamak, kikir dan suka memperkerjakan putrinya seperti budak dengan baju kain perca.

Meskipun gadis ini sudah mencapai usia untuk berumah tangga, ayahnya tak pernah memperbolehkan siapapun meminangnya. Gadis ini sangat jarang bertemu orang lain kecuali si ayah tuanya yang jahat. Segala yang di perdulikan pria tua itu hanyalah koin-koin emas yang dia Simpan dalam regangan papan di bawah kasurnya.
Setiap malam dia mengunci pintu kamar, dan sibuk menghitung setiap keping koin emasnya dalam keremangan cahaya lilin. Ia senang akan bunyi gemerincing dan kilauan dan berat koin-koin itu di gengaman tangannya.

Namun Therese yang malang, begitu kesepian. Setiap malam gadis ini datang dan mengetuk pintu kamar sang ayah, tok, tok. Kemudian sang ayahnya akan berteriak,

"Siapa itu?!"

"Papa, buka pintunya," pinta gadis itu. "Ini saya, Therese. Papa, biarkan saya masuk, saya ingin ngobrol. Saya kesepian."

Tetapi ayahnya hanya akan berseru,

"Pergilah dan kembali bekerja sana. Kau hanya ingin menyentuh emasku kan, jangan berharap sebelum aku mati!"

Dan malam selanjutnya, tok, tok, "Siapa itu?!"

"Papa, ini saya, Therese. Saya sakit," rintihnya. "Papa, biarkan saya masuk..."

Lagi-lagi ayahnya hanya berseru,

"Dasar anak pemalas tak berguna! Pergilah. Kau tidak sakit. Jika kau cuma menginginkan uangku, langkahi dulu mayatku!"

Lagi dan lagi Therese mendatangi kamar sang ayah, tok, tok. "Siapa itu?!"

"Papa, tolong. Papa, biarkan saya masuk. Saya sakit parah. Saya butuh obat. Saya mohon, Papa, belikan obat untuk saya..."

Tok, tok. "Siapa itu?!"

"Papa, tolonglah saya. Sakitnya tambah buruk. Oh, papa, buka pintunya..."

Namun hati sang ayah sedingin koin2 emas di tangannya. Hingga akhirnya tangisan si gadis memudar dalam keheningan, dan ia... tak lagi mengetuk pintu. Si pria tua jadi penasaran, maka diapun membuka pintunya. Diatas lantai beranda, terbaring tubuh tak bernyawa Therese si gadis ceria.

Pria tua itu terlalu kikir untuk membelikan peti besi bagi jenazah putrinya. Dia malah menempatkan mayatnya di dalam sebuah peti kayu lapuk dan menguburnya di tanah becek dan dangkal di bawah pohon cemara. Para tetangga hanya bisa menggeleng prihatin. Mereka sudah memperingatkan bahwa hal ini dapat menimbulkan masalah. Bagaimana Therese yang malang bisa beristirahat dengan tenang di makam semacam itu?

Tiga minggu pun berlalu dan sebuah hujan badai datang menggulung daerah teluk itu. Angin menderu dahsyat dan tetesan hujan deras sebesar jarum berjatuhan sembari badai melanda daratan. Malam itu si pria tua sedang duduk di dalam kamarnya menghitungi koin emas dalam temaram cahaya lilin.
Di luar, angin mendesau dan menghunjami genteng rumahnya dengan deras air hujan. Pria tua itu tak tahu kalau sungai telah meluap sampai ke tepian dan menggenangi daratan dengan airnya yang kehitaman. Dia masih terduduk di kursi goyangnya, dengan segengam koin emas di telapak tangan, bergoyang dan menghitung,

"Ahh.. Satu, dua, tiga..."
Terdengar suara kayu lapuk membentur dan menggores beranda rumahnya.
Tok, tok, tok, pintunya berbunyi.

"Siapa itu?!" seru si pria tua.

Hanya suara hembusan angin yang menjawab. 'mungkin itu benturan dari daun pintu yang renggang.' pikirnya, lalu kembali menghitung koin.
"Satu, dua, tiga..."

Tok, tok, tok, ketukan terdengar lagi, dan lebih keras.

"Siapa itu?!"

Hanya suara deru angin yang menyahut. 'mungkin hanya anjing liar mencoba masuk,' pikirnya. Dan kembali menghitung,
"Satu, dua, tiga..."

Tok, tok, tok! Tiga kali gedoran keras menghantam daun pintu.

"Siapa itu!"

Sayup-sayup terdengar rintihan sedih dan pelan. Hawa dingin menjalari tulang punggung si pria tua.

"Badai memang menakutkan," katanya pada diri sendiri. "Itu hanyalah tiupan angin yang menerbangkan ranting dari pohon oak tua lalu membentur rumahku."

Namun rintihan itu semakin kencang dan kencang dalam deru angin hingga berubah menjadi jeritan yang memekakan.

"Papa, ini saya, Therese! Biarkan saya masuk! Saya Therese papa!"
Tok, tok, tok!

"Papa, biarkan saya masuk!"

Tok, tok, tok!

"Papa, biarkan saya masuuuk...!!"

Bersamaan dengan berlalunya mata badai, suara pekikan horor terdengar menyeruak dalam keheningan mematikan di malam itu.

Tiga hari kemudian banjir mulai surut. Para tetangga datang untuk memeriksa tempat kediaman si pria tua. Saat mereka berkendara ke sana, mereka melewati pohon cemara dan melihat bahwa banjir telah menghanyutkan segala hal di sana tak terkecuali peti Therese karena makamnya telah kosong.

Mereka mengetuk pintu belakang, namun tak ada jawaban. Cemas jika sesuatu yang buruk telah menimpa si pria tua, maka mereka mendobrak pintunya. Mereka mendapapati jasad si tua telah kaku di atas kursi goyangnya, tubuhnya sedingin batu kelereng, rambutnya berubah putih seperti salju.

Raut horor menghiasi wajah kakunya dengan mulut ternganga, dan matanya terbelalak menyiratkan gumpalan teror tak terperi. Di seberang ruangan, daun pintu menggantung timpang seolah olah di gedor oleh sesuatu dengan begitu kencangnya. Beberapa kaki dari pintu tergeletak peti kayu rusak yang tutupnya agak membuka dan didalamnya terbaring mayat kisut Therese. Di dalam genggaman tangannya yang hampir tak berdaging terdapat koin2 emas sang ayah, segurat senyum tipis tersungging di bibirnya yang membusuk.

Dengan emas itu, para tetangga membeli peti besi mengkilap untuk Therese, lalu memakamkannya di tanah yang lebih layak. Namun uangnya tidak tersisa cukup banyak guna membeli jatah peti untuk mayat si pria tua, jadi mereka memasukan jasadnya ke dalam peti dari kayu pinus dan menguburnya di bawah pohon cemara.

Sejak saat itu, setiap kali air sungai meluap ke daratan, arwah penasaran si pria tua akan bergentayangan dan memperingatkan orang-orang sekitar bahwa ketamakan itu amatlah sangat berbahaya. Para penduduk sudah tahu jika arwah si pria tua mengunjungi rumah mereka maka akan terdengar suara ketukan di pintu namun setelah dibuka, tak ada siapapun di sana!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar